Jasa sertifikasi halal – Pemerintah Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) yang disahkan pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yakni pada 17 Oktober 2014.
7 Hal Penting
Undang-Undang Jaminan Produk Halal memiliki tujuh hal penting yang meliputi produk, sertifikasi halal, lembaga audit halal, auditor halal, kerja sama Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal atau BPJPH dengan lembaga lain, registrasi sertifikasi halal dari luar negeri, serta sanksi.
Pasal 1 ayat (1) UUJPH menyatakan produk adalah barang dan/jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetis, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat.
Kemudian, yang dimaksud dengan produk halal adalah produk yang telah dinyatakan halal sesuai dengan syariat Islam dan ayat 3 menyebutkan proses produk halal (PPH) adalah rangkaian kegiatan untuk menjamin kehalalan produk yang mencakup penyediaan bahan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian produk.
Pasal 17 mengatur bahan yang digunakan dalam PPH yang meliputi bahan baku, bahan olahan, bahan tambahan, dan bahan penolong. Bahan-bahan tersebut dapat berasal dari hewan; tumbuhan; mikrob atau bahan yang dihasilkan melalui proses kimiawi, proses biologi atau proses rekayasa genetis. Pasal 17 juga menegaskan semua bahan dari hewan pada dasarnya halal kecuali yang diharamkan menurut syariat Islam.
Tanggung Jawab Pemerintah
Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal menjadi tanggung jawab pemerintah yang dilaksanakan Menteri Agama sesuai Pasal 5. Dalam penyelenggaraan JPH, dibentuk BPJPH yang berkedudukan dan bertanggung jawab di bawah Menteri Agama. Tugas, fungsi, dan susunan organisasi BPJPH diatur melalui Keputusan Presiden. BPJPH dapat membentuk perwakilan di daerah jika diperlukan.
Kehalalan suatu produk diaudit Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yang mengadakan inspeksi atau tes untuk mengecek kehalalan produk. Pasal 13 menyatakan LPH harus memiliki kantor sendiri dan perlengkapannya, memiliki akreditasi dari BPJPH, memiliki setidaknya tiga orang auditor halal, serta memiliki laboratorium atau bekerja sama dengan lembaga yang memiliki laboratorium.
LPH dapat didirikan oleh masyarakat melalui organisasi kemasyarakatan Islam yang berbadan hukum. Auditor halal diangkat dan diberhentikan LPH sesuai Pasal 14. Persyaratan, kualifikasi, sertifikasi, dan siapa saja yang dapat menjadi auditor halal diatur Pasal 14. Pasal 15 mengatur tugas-tugas auditor halal.
BPJPH dapat bekerja sama dengan lembaga-lembaga yang terkait seperti Kementerian Pertanian, Badan StandarisasiNasional, dan BPOM. Pasal 10 menyebutkan kerja sama BPJPH dengan MUI meliputi sertifikasi auditor halal, penetapan kehalalan produk, dan akreditasi LPH.
Kemudian, kerja sama internasional JPH yang bisa berbentuk pengembangan JPH, penilaian kesesuaian, dan/atau pengakuan sertifikat halal. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 46. Selanjutnya, Pasal 47 menyatakan UU No. 33/2014juga berlaku untuk produk impor.
Produk halal impor tidak perlu mengajukan permohonan sertifikat halal sepanjang sertifikat halalnya diterbitkan oleh lembaga sertifikasi halal luar negeri yang telah melakukan kerja sama saling pengakuan JPH. Sanksi administratif berupa penarikan produk dari peredaran diatur Pasal 48.
Sanksi-sanksi sehubungan dengan pelanggaran UU No. 33/2014 berupa sanksi peringatan hingga sanksi pidana diatur Pasal 56 dan 57. Pada 2019 diharapkan semua produk makanan, minuman, obat-obatan, kosmetika, dan barang pakai lainnya wajib bersertifikasi halal sesuai target pemerintah untuk implementasi UU JPH.
Sertifikat Halal
Pengajuan halal dilakukan pelaku usaha melalui permohonan tertulis disertai dokumen pendukung kepada BPJPH sesuai Pasal 29. BPJPH kemudian menunjuk LPH untuk memeriksa dan/atau menguji kehalalan produk seperti yang diatur Pasal 30. Pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk dilakukan auditor halal dari LPH sesuai Pasal 31.
Pasal 32 menyatakan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk diserahkan LPH ke BPJPH untuk diteruskan kepada MUI guna mendapatkan penetapan kehalalan produk. Pasal 33 menyatakan penetapan kehalalan suatu produk dilakukan melalui sidang fatwa halal yang memutuskan kehalalan suatu produk paling lama 30 hari kerja sejak MUI menerima hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk dari BPJPH.
Keputusan penetapan halal produk ditandatangani oleh MUI dan disampaikan kepada BPJPH untuk menjadi dasar penerbitan sertifikat halal. Berawal dari konsep dan praktik bagi umat Islam mengenai apa yang boleh dan dilarang untuk dikonsumsi selama lebih dari 1.400 tahun, ”halal” kini telah menjadi kebutuhan global.
Halal telah berkembang menjadi industri dengan konsumen 1,6 miliar muslim di dunia dan berbagai kalangan lain yang menyadari keuntungan mengonsumsi produk halal.
Selanjutnya RSO Consulting juga membantu dalam proses mendapatkan sertifikasi halal. Proses mendaftarkan sertifikasi seperti ini memiliki prosedur dan audit berbeda-beda. Pastikan jika Anda mempertimbangkan kebijakan seperti ini untuk jaminan dari perusahaan.
Selain itu, ketika mendapatkan proses seperti ini memerlukan beberapa dokumen khusus. Oleh sebab itulah, banyak orang yang memilih untuk menggunakan jasa saja daripada mengurusnya sendiri dan menghabiskan banyak waktu dan tenaga.
Tidak heran makin banyak perusahaan mempertimbangkan penggunaan jasa seperti RSO Consulting agar lebih praktis. Jadi apakah Anda juga ingin memilih jasa seperti ini saja untuk membantu proses lebih mudahnya?